MAKALAH CARU DALAM AGAMA HINDU
MAKALAH CARU DALAM AGAMA HINDU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Melakukan Upacara Yadnya merupakan langkah yang
diyakini sebagai kegiatan beragama Hindu yang amat penting. Karena Yadnya
adalah salah satu penyangga bumi. Demikian disebutkan dalam kitab Atharwa Weda.
Pemeliharaan kehidupan di dunia ini dapat berlangsung terus sepanjang Yadnya
terus menerus dapat dilakukan oleh umat manusia. Demikian Pula Yadnya adalah
pusat terciptanya alam semesta atau Bhuwana Agung sebagai diuraikan dalam kitab
Yajur Weda. Disamping sebagai pusat terciptanya alam semesta Yadnya juga
merupakan sumber berlangsungnya perputaran kehidupan yang dalam kitab
Bhagawadgita disebut Cakra Yadnya. Kalau Cakra Yadnya ini tidak berputar maka
kehidupan ini akan mengalami kehancuran (Mas putra, dkk. 2015: 1).
Bhuta yadnya merupakan
salah satu yadnya yang diyakini oleh umat Hindu sebaga jalan untuk
menjaga keharmonisan alam atau bumi agar semua unsur alam semesta akan terjaga keharmonisannya.
Salah satu unsur penting dalam Bhuta yadnya khususnya upakara
caru atau disebut dengan mecaru (Sudarsana, 2001). Upacara Mecaru di Bali
merupakan sebuah ritual suci yang kerap digelar untuk mengharmonisasi hubungan
antara manusia dengan lingkungan sekitarnya untuk keberlangsungan kehidupan selanjutnya
atau mengharmoniskan unsur-unsur Panca Maha Bhuta di Bhuana Agung dan
Bhuana Alit. Unsur-unsur Panca Maha Bhuta merupakan lima
unsur yang menyusun alam semesta, seperti pertiwi, apah, teja,
bayu, dan akasa/ether. Pertiwi adalah sesuatu di sekitar
kita yang berwujud, berbentuk dan dapat dirasakan seperti besi, logam, kayu,
dan lain sebagainya. Pada umumnya pertiwi lebih dikenal dengan tanah. Apah
adalah segala sesuatu yang lentur, mengalir, fleksibel, luwes, mendinginkan
dan tidak memiliki bentuk yang kokoh. Secara nyata wujud apah adalah
elemen air. Teja merupakan elemen api, yang dapat menghasilkan panas dan
cahaya. Bayu merupakan sesuatu yang menaungi atau melingkupi jagat raya.
Bentuk dari elemen bayu adalah angin yang melingkupi bumi. Akasa/ether
merupakan unsur ruang kosong, dengan kata lain alam tempat tinggal seluruh makhluk
hidup.
Caru merupakan bagian dari upacara yadnya
yang bertujuan untuk keseimbangan para bhuta
sebagai kekuatan bhuwana alit
maupun bhuwana agung
sebagaimana disebutkan dalam kanda pat
butha sehingga dengan adanya keseimbangan tersebut berguna bagi
kehidupan ini. Caru yang dalam sejarahnya disebutkan diawali dari terjadinya
kekacauan alam semesta yang mengganggu ketentraman hidup sebagai akibat dari
godaan-godaan bhuta kala,
sehingga Hyang Widhi
Wasa menurunkan Hyang Tri Murti
untuk membantu manusia agar bisa menetralisir dan selamat dari godaan-godaan
para bhuta kala itu sehingga mulailah timbul banten “Caru” sebagaimana
disebutkan dalam mitologi caru
ini.
Dijelaskan pula bahwa, Caru (Mecaru;
Pecaruan; Tawur) sebagai upacara yadnya
yang bertujuan untuk keharmonisan bhuwana agung (alam semesta) dan bhuwana alit
(diri kita sendiri/ manusia). Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi
dari filosofi Tri Hita
Karana, seperti yang disebutkan dalam Lontar
Pakem Gama Tirta, agar terjadi keharmonisan. Upacara pecaruan ada yang
dilakukan dalam bentuk kecil sehari-hari, disebut Nitya Karma,
sedangkan upacara pecaruan disaat tertentu (biasanya lebih besar) disebut Naimitika
Karma. Adapun jenis-jenis sebagai berikut, Caru Eka Sata, Caru Panca
Sata, Caru Rsi Ghana, Caru Penolak Mrana/ Gering Tempur, Caru Panca Sanak
Madurgha, Caru Bhuta Yadnya Medana-dana/ Gempong Asu, Caru Panca Sanak Agung,
Caru Panca Wali Krama, Caru Panca Kelud, Caru Walik Sumpah, Caru Tawur Gentuh,
Caru Tawur Agung, Tawur Eka Dasa Rudra
Mithologi
yang mendasari pelaksanaan caru di
Bali adalah kisah Mahabharata pada Sauptika
Parwa, yakni saat Dhuryodana yang dalam keadaan sekarat masih penuh dendam
dan amarah namun kematiannya belum kunjung datang. Saat itu Aswatama ingin membalaskan
dendam sahabatnya itu untuk membunuh Pandawa. Dini hari ia melancarkan aksi
memalukan sepanjang sejarah yakni membunuh Panca
Kumara yang masih tertidur lelap pasca
perang Bharata Yudha. Panca Kumara ditebas
dengan pedang Aswatama, dan pedang yang berlumuran darah para pangeran Pandawa
itu dibawanya kepada Dhuryodana. Dioleskannya pedang itu disekujur tubuh
Dhuryodana dan akhirnya ia bisa memperoleh kematiannya dengan tenang. Hal ini
menunjukkan kekuatan negatif yang disimbolkan oleh Dhuryodana dapat menjadi
tenang oleh penggunaan darah. Itulah sebabnya pada banten caru menggunakan daging dan darah lima ekor ayam sebagai simbol
pengorbanan suci Panca Kumara untuk
mendamaikan, menyucikan, menyomya kekuatan
negatif alam semesta ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah hakikat caru dalam
agama hindu?
2.
Bagaimanakah pembagian
jenis-jenis caru dalam agama hindu?
3.
Bagaimanakah makna filosofi
dari sarana caru?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Caru
Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno
(Kawi) artinya : korban (binatang), sedangkan ‘Car‘ dalam bahasa Sanskrit
artinya ‘keseimbangan/keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan :
Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan.
‘Keseimbangan/ keharmonisan’ yang dimaksud adalah terwujudnya ‘Tri Hita
Karana’ yakni keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan
(parahyangan), sesama manusia (pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan).
Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu
terganggu kegiatan/kejadian yang tidak baik seperti, pelanggaran dharma/dosa,
atau merusak parahyangan (gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang),
perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran yang
merusak palemahan, patut diadakan pecaruan. Latar belakang dalam pecaruan
dikorbankan binatang karena pada mulanya, justru manusia yang dikorbankan. Jadi
kemudian berkembang bahwa manusia digantikan binatang peliharaan. Caru (Mecaru;
Pecaruan; Tawur) adalah suatu upacara yadnya yang bertujuan untuk keharmonisan
bhuwana agung (alam semesta) dan bhuwana alit (mahluk Hidup) agar menjadi baik,
indah, lestari. Upacara pecaruan ada yang dilakukan sehari-hari disebut Nitya
Karma, sedangkan upacara pecaruan disaat tertentu (biasanya lebih besar)
disebut Naimitika Karma. Pecaruan
merupakan suatu cara agar terciptanya keseimbangan antara Alam dan mahluk
Hidup karena jika keadaan alam tidak seimbang maka akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas mahluk yang hidup di dalam
alam tersebut serta caru dapat menjadi lambang dari rasa bersyukur umat kepada alam semesta yang sudah
memberikan tempat hidup yang layak.
2.2 Jenis – jenis Caru
2.2.1 Jenis-jenis Caru menurut alasan pelaksanaan
Jenis - jenis Caru dan Tawur sesuai Lontar Dewa Tattwa sebagai
berikut :
a. Caru yang diadakan bila ada kejadian tertentu misalnya:
bencana, bencana alam, hama penyakit, gerhana matahari, huru-hara, perang, dll.
b. Caru yang diadakan: sehari-hari, hari tertentu, sasih (bulan)
tertentu, dan warsa (tahun) tertentu.
c. Caru yang diadakan disuatu tempat: pekarangan, rumah, pura,
sanggah, Banjar, Desa, seluruh pulau (Bali), seluruh dunia, danau, laut, hutan,
gunung, dll.
2.2.2 Jenis-jenis caru menurut tingkatannya
a. Dalam Lontar Dewa Tattwa dibedakan pula antara Caru dan Tawur
Upacara yang dikelompokkan dalam katagori Caru :
• Eka Sata,
• Segehan Panca / Manca
Warna,
• Panca Sata,
• Panca Sanak,
• Panca nak-madurga,
• Ngeresigana.
Upacara yang dikelompokkan dalam katagori Tawur :
• Manca Kelud,
• Balik Sumpah,
• Tawur Gentuh,
• Panca wali krama,
• Eka Bhuwana,
• Tri Bhuwana,
• Eka Dasa Rudra.
b. Jenis Caru menurut lontar
Carcaning Caru
• Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ),
• Caru panca sata (caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di
sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin ),
• Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di
tambah dengan
seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di
lakukan, dan
• Caru Rsi Gana.
c.
Jenis-jenis caru sesuai lontar Bhama Kertih
sebagai berikut :
• Kramaning Pasimpenan Dasar Wangunan
• Caru Umah Cacad
• Caru Mawug Umah dan Agingsir Ngarangin
• Caru Pangrapuh Cari
• Caru Pangasih Buta
• Caru Penganggihan
• Caru Karang Panes Kapasipati
• Caru Penganggihan Karang
• Caru Pamangguhan Pemali
• Caru Pamangguhan Alit
• Caru Karang Paumahan Gering Tetampur,
• Caru Karang Gering Tumpur Misi
• Caru Karang Kageringan
• Caru Karubuhan Taru Agung
• Caru Angkus
• Caru Rsi Ghana
• Caru Panulak Merana, Tutumpar
• Caru Panca Sanak Medunga
• Caru Pratingkahing Caruning Bhuta
• Caru Bhuta Bregala
• Caru Bhuta Yajña
• Caru Panca Sanak Agung
• Caru Panca Rupa Panca Kelud
• Caru Panca Kelud = Panca Rupa
• Caru Walik Sumpah
• Caru Panca Wali Krama
• Caru Tawur Gentuh
• Caru Tatumpur, Sasab Mrana ring Pesisi
• Tawur Eka Dasa Rudra
d. Jenis
caru dilihat dari tingkat kebutuhannya
• Nista yaitu caru untuk keperluan kecil, dalam lingkup keluarga
tanpa ada peristiwa yang sifatnya khusus (kematian dalam keluarga, melanggar
adat)
• Madya yaitu caru yang selain dilakukan dalam lingkungan kekerabatan/banjar
(biasanya dalam wujud tawur kesanga, dilakukan dalam keluarga dalam kondisi
khusus, dan pembangunan merajan.
• Utama yaitu caru yang dilakukan secara menyeluruh oleh segenap
umat Hindu (bangsa) Indonesia.
2.3
Penjelasan Jenis-jenis Caru
2.3.1.
Caru panca sata
Secara etimologi Caru Panca Sata terdiri
kata Caru, Panca, dan Sata. Caru dalam kitab “Swara
Samhita” artinya harmonis atau cantik. Panca berarti lima dan Sataberarti
ayam. Jadi Caru Panca Sata adalah suatu bentuk persembahan yang terbuat
dari lima jenis ayam, disembelih dan diolah menjadi simbol-simbol berupa jenis-jenis
makanan khas Bali untuk menjamu Bhuta Kala supaya harmonis (Wiana, 2007). Secara umum Caru
Panca Sata terbuat dari bahan utama berupa lima jenis/warna ayam yang
disembelih (putih, biying, putih syungan, hitam dan brumbun),
bayang-bayang/layanglayang merupakan bagian dari kulit, bulu,
kepala, kaki dan sayap tetap utuh melekat pada kulit. Darah dipisahkan berdasarkan
jenis ayam, dipakai untuk melengkapi tetandingan (mentah dalam takir daun
pisang) dan sebagai campuran urab barak. Masing-masing daging
ayam diolah menjadi sate lembat (daging tumbukan dicampur dengan bumbu
Bali dan kelapa parut), ususnya diolah menjadi sate asem dan serapah (usus
atau daging yang direbus ditusuk dengan bambu kecil yang diraut (katikan),
3 irisan tiap katik. Begitu pula disertakan urab barak, urab
putih, sayur, garam, balung/ tulang.
2.3.2.
Caru panca sanak
Tata cara melaksanakan upacara caru panca sanak agung, di timur
mempergunakan angsa dagingnya diolah menurut urip yaitu dijadikan 50 tanding,
di Selatan banteng, dagingnya dijadikan 90 tanding, di Barat anjing bang
bungkem, dagingnya diolah menjadi 70 tanding, di utara kambing dagingnya diolah
menjadi 40 tanding, di Tengah itik blang kalung, dagingnya diolah menjadi 80
tanding. Upacara caru yang kecil ataupun besar, demikian pula halnya dengan
caru pancawali krama, yaitu dengan mempergunakan ayam berbulu lima macam, kulitnya
dipergunakan layang-layang,
dagingnya diolah menjadi urab merah dan putih, mengikuti arah jumlahnya.
Demikian pula upacara yang ditujukan keatas, sesuai pula dengan urip arah,
yaitu; di Timur itik putih yang jumlahnya sesuai dengan urip, dagingnya diolah
menjadi 55 bayuh dalam satu karang, calon agung sesuai dengan urip arah. Di
selatan anjing bang bungkem, sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 99
bayuh. Di Barat angsa sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 77 bayuh. Di
Utara babi jantan sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 44 bayuh. Di tengah
itik belangkalung dagingnya diolah menjadi 88 bayuh. Masing-masing disertai
sate lambat asem, calon pebangkit di tengah sebuah yang lengkap dengan urutannya.
Ditambah lagi dengan angsa yang diletakkan di arah Barat, olahan dagingnya sesuai
dengan olahan angsa dalam upacara pancawali karama di tingkat madya. Dan pula
dalam caru panca sanak agung/alit, patutlah disertai dengan sesayut durmanggala,
prayascita luwih, sesayut panca kelud, pamiyak kala dan pamangguh pamali
agung/alit. Tingkatan dan tata pelaksanaan caru ini sama dengan caru panca sanak
agung.
2.3.3.
Caru panca rupa dan panca kelud
Upakara Caru panca rupa dan panca kelud
adalah Itik berbulu elang, di Tenggara letaknya, kulitnya dipergunakan sebagai layang-layang,
dagingnya diolah menjadi 88 dalam satu karang, masing-masing disertai dengan
suci dandanan. Anjing bang bungkem, di Tenggara tempatnya, kulitnya dipakai
layang-layang, dagingnya diolah menjadi 33 dalam 1 karangan. Kambing di Barat
daya, kulitnya dipergunakan layang-layang, dagingnya diolah menjadi 21 dalam 1
karangan. angsa di timur laut tempatnya, kulitnya dipakai layang-layang diolah
menjadi 21 dalam 1 karangan. Itik blang kalung di tengah letaknya, kulitnya
dipakai layang-layang, dagingnya diolah menjadi 88 dalam 1 karangan. Ayam putih
letaknya di Timur, dagingnya diolah menjadi 5, ayam merah letaknya di selatan,
dagingnya diolah menjadi 9, ayam putih siyungan/putih kekuning-kuningan
letaknya di Barat, dagingnya diolah menjadi 7, ayam hitam di utara, dagingnya
diolah menjadi 4, ayam brumbun/lima warna letaknya di tengah dagingnya diolah
menjadi 8. Masing-masing dari bagian itu disertai dengan sate asem dan calon
agung sesuai dengan urip warna.
2.3.4.
Caru malik sumpah
Caru malik sumpah, yang tingkatannya
adalah utama, sarananya adalah sebagai berikut; di Timur angsa sesuai dengan
urip, dagingnya diolah menjadi 55. Di Selatan, banteng sesuai dengan urip,
dagingnya diolah menjadi 99. Di Barat daya anjing bang bungkem, sesuai dengan
urip, dagingnya diolah menjadi 33. Di Barat kambing sesuai dengan urip, dagingnya
diolah menjadi 77. Utara babi jantan sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi
44. Di tengah kerbau sesuai dengan urip, dagingnya diolah menjadi 88.
Bebangkitnya satu soroh disertai perlengkapannya, sorohan, kawasan, karangan
gelar sanga dan cawu pangrekan. Upacara malik sumpah di sawah, di desa, dan di
tanah perumahan, yaitu ; babi 9 ekor dikali 5, itik 7 ekor dikali 5, ayam 5
ekor dikali 5, sudang taluh 3 buah dikali 5, garam areng 1 dikali 5, letakanlah
semua itu pada sangkwi yang berjumlah 5 buah. Jenis kelapa muda yang diperlukan
; kelapa sudamala 9 butir, kelapa nyamblung 11 butir, kelapa gading 7 butir,
kelapa be julit 5 butir kelapa tabah 3 butir.
2.3.5.
Caru panca wali krama
Tata pelaksanaan upacara Caru panca wali
krama, hewan yang dipergunakan adalah ; di Timur sapi, di Selatan menjangan, di
Barat kidang, di Utara Garuda, di Tengah padma. Tata pelaksanaan caru
tawurgentuh, membuat sanggah rong/berulang 3, suci 4 soroh, catur Widya Ghana,
panca saraswati, -kanan –kiri citragotra, siwa bahu, pucuk bahu, papada,
dewa-dewi, tegen-tegenan, itik-ayam, sesantun gede, saji 4 soroh, rantasan 2
unit, pras 2 buah, ayam 2 ekor, itik 16 ekor, sesantun sebagaimana mestinya,
paling banyak 16000, menengah 8000. Dipanggungan dihaturkan bebangkit asoroh
dengan perlengkapannya. Caru yang dibawah, di Timur mempergunakan banteng/sapi jantan,
dagingnya diolah sesuai dengan urip menjadi 55. Di Selatan, anjing blang bungkem
dagingnya diolah menjadi 99. Di Barat, kambing dagingnya diolah menjadi 77. Di
utara babi jantan diolah dagingnya menjadi 44. Di bawah angsa dagingnya diolah
menjadi 55. Kerbau dagingnya diolah 19 menjadi 88 di tengah letaknya. Angsa
dagingnya diolah menjadi satu, letaknya diatas.
2.3.6.
Caru Tawur Agung
Tata pelaksanaan caru tawur agung,
sarananya adalah sebagai berikut : untuk caru di bagian bawah yaitu ; di Timur
sapi yang dagingnya diolah menjadi 55, di Selatan manjangan dagingnya diolah
menjadi 99, di Barat kidang/kijang dagingnya diolah menjadi 77. Bila tidak ada kaki
kidang boleh mempergunakan gambarnya saja, tetapi binatangnya diganti dengan
itik putih yang dagingnya diolah menjadi 77. Di Utara babi jantan dagingnya
diolah menjadi 44. Semua bagian itu disertai dengan bebangkit dan pada bagian
bawah tempatnya mecaru memakai angsa yang dagingnya diolah menjadi 55 disertai
bebangkit, sedangkan bagian atas angsa yang dagingnya diolah menjadi satu,
disertai bebangkit. Di Tengah kerbau yang dagingnya diolah menjadi 88 disertai
bebangkit. Di Tenggara musang, dagingnya diolah menjadi 88, tanpa bebangkit, di
Barat daya anjing blang bungkem dagingnya diolah menjadi 33 tanpa bebangkit. Di
Barat laut kura-kura, dagingnya diolah menjadi 22 tanpa bebangkit. Di Timur
laut kambing yang dagingnya diolah menjadi 66 tanpa bebangkit. Dan ayam manca
warna dagingnya diolah sesuai dengan arah, disertai dengan, kawisa, karangan,
gelar sanga dan bebakaran masing-masing sebuah.
2.3.7.
Tawur Eka Dasa
Rudra
Tata cara Tawur Ekadasa Rudra
pelaksanaannya, sesuai dengan stana / tempatnya masing-masing, misalnya adalah
caru yang menghadapi ke timur, Tenggara, Barat daya, Barat, Barat Laut, Timur
Laut, tengah, bawah, dan atas. Demikianlah banyaknya, lengkap dengan
penggunaannya masing-amsing, diatapi dengan memakai lamak, penjor dan pagar
sekelilingnya supaya aman. Upacara caru ditanah dengan angsa hitam yang
dagingnya diolah, ditempatkan pada sangkwi mikuh, olahannya itu sesuai dengan
urip, sesate serba 50 biji, sebagian mateng, dan sebagian mentah, ditempatkan
pada 5 sangkwi, seperti sate calon serba lima, ditempatkan pada ancak, ditengah
diisi cau dandanan 5 buah, berisi nasi putih, ikannya hurab merah dan putih. Upacara
caru di air, ditempatkan pada klakat 2 buah, ikannya sudang telur sebuah,
ikannya hurab merah putih sebuah, takeptakepannya 5 buah, ikannya hurab merah
putih. Jenis binatang untuk caru di bawah sanggar tawang, angsa di timur,
kambing di tenggara, sapi jantan di selatan, anjing bang bungkem di barat daya,
kerbau di barat, manjangan di barat laut, dan kidang di tengah. Semuanya itu
disertai nasi yang ditempatkan pada klatkat. Di bagian tengah mempergunakan
tepung lima warna lengkap dengan senjatanya. Ditambah pula dengan caru yang mempergunakan
binatang buas, yang dagingnya diolah sesuai dengan urip, kulitnya masih utuh
dengan kepalanya, adapun jenis
binatang itu adalah; buaya, harimau, biawak, kucing hutan, rase, musang,
landak, trenggiling, ular, tikus, deleg, bejulit, lele, hempas, elang, gagak,
monyet hitam, monyet, katak besar, dan jenis-jenis ular. Semua binatang buas
dapat dipergunakan. Upacara caru di tanah, adalah babi besar seekor, sebagai
penerangan yang lengkap, darah sepiring, tulang gagending, semuanya mentah,
pencok kacang, telur bekasem enam butir, cangingnya diolah menjadi sate dan
calon, hurab merah putih, hendaklah mempergunakan daging babi.
2.3.8.
Caru pengasuh bhuta
Upakara caru pengasuh buta : canang,
tumpeng putih-kuning yang besar, dihiasi dengan bunga, buahnya berwarna
putihkuning, canang genten, ikannya sate sudamala dari ayam setengah baya,
dipanggang, dan itik putih diguling, ditempatkan pada dulang yang baru, yang
merajah/bergambar matahari dan bulan. Setelah selesai dihaturkan kemudian ditanam
di tengah halaman rumah.
2.3.9.
Caru penudaan
Upacara pecaruan di pekarangan jika
tanah pekarangan tidak baik seperti ditimpa penyakit tiada berkeputusan, dimasuki
oleh bhuta-bhuti, selalu gelisah, sering bertengkar, tiada tahu akan
kewajibannya sebagai manusia. Caru di bawah adalah sajen itik berbulu elang/Coklat
kemerah-merahan diolah dan diwarnai merah putih, disate sebanyak 35
bagian/tanding, disesuaikan dengan urip arah mata angin yang disatukan dalam caru
tersebut.
2.3.10.
Caru hangkus
Caru hangkus merupakan upacara membuat
tenang dan damainya tanah pekarangan, sarananya adalah ; bubur pirate, nasi
angkeb, sorohan seperangkat, suci sepasang, tumpeng 9 buah, berwarna 9 macam
yang ditempatkan pada tamas, buahnya seperti isi sodahan, seekor anjing bang
bungkem, dagingnya diolah lengkap, dan kulitnya ditempatkan pada sangkwi yang
berwujud anjing, kemudian ditutup pula dengan sangkwi yang sama pula.
Dilengkapi dengan pohon tiyih/sejenis suwek yang masih lekat dengan umbinya
sebanyak 4 pohon, daksina sebuah, uang 770, katipat sedahan.
2.3.11.
Caru Rsi Ghana
Caru ini berfungsi sebagai penyucian
tanah pekarangan yang angker dan panas. Bila ada orang mati di tanah pekarangan
itu, karena salah pati, diamuk orang, disambar petir, yang menyebabkan orang
yang punya rumah mendapatkan bahaya dalam hidupnya. Carunya di halaman rumah
ayam berumbum/berbulu lima warna, kulitnya digantung dan dialasi kelabang
berekor/sejenis anyaman dari daun kelapa, dagingnya diolah menurut urip dari lima
warna, yang berwarna putih di Timur, urabnya berwarna
merah
putih, sate lambat asem 5 biji, dijadikan 5 bayuh. Di Selatan ayam biying
berbulu kemerah-merahan, urabnya merah putih, sate lambat asem 9 biji, calon 9
biji, dijadikan 9 bayuh. Di Barat ayam putih siyungan urabnya putih merah,
sesate lambat asem 7 biji, calon 7 biji, menjadi 7 bayuh, di Utara ayam hitam,
urabnya merah putih, sate lambat asem 4 biji, calon 4 biji, menjadi 4 bayuh.
Yang di tengah ayam berumbun,
urabnya
merah putih, sate lambat asem 8 biji, calon 8 biji menjadi 8 bayuh.
2.3.12.
Upacara penolak merana /penyakit tumbuhan dan manusia
Upakara caru di halaman dengan memakai
ayam lima warna, kulitnya untuk layang-layang ditempatkan pada sangkwi berekor,
dagingnya diolah ngider buana; untuk ayam putih dagingnya diolah menjadi lima
bayuh, masing-masing berisi urab merah putih, sesate lambat asem 5 biji, calon
5 biji, letaknya di arah Timur. Untuk ayam siyungan dagingnya diolah menjadi
sembilan bayuh, masing-masing berisi urab merah putih, sate lambat asem 9 biji,
calon 9 biji, diletakkan diarah Selatan. Untuk ayam putih siyungan/putih
kekuningkuningan dagingnya diolah menjadi 7 bayuh, masing-masing
berisi
urab merah putih, sesate lambat asem 7 biji, calon 7 biji diletakkan di arah
Barat. Untuk ayam hitam dagingnya diolah menjadi 4 bayuh, masing-masing berisi
urab merah putih, sesate lambat asem 4 biji, calon 4 biji dan diletakkan diarah
utara. Ayam berumbun dagingnya diolah menjadi 8 bayuh masing-masing berisi 8
biji sesate lambat asem, calon 8 biji tempatkan diarah tengah. Semua dari
upacara itu diletakkan atau dialas dengan sangkwi. Bahan carunya anjing bang
bungkem yang belum berumur dewasa, kulitnya digantung dipakai layang-layang,
dagingnya diolah ditempatkan pada sangkwi yang berekor, olahannya adalah urab
merah putih, sesate lambat asem 33 biji, dijadikan 3 karangan/kelompok,
calonnya sesuai dengan urip arah mata angin, disertai kekapuhan takep-takepan.
Nasi punjungnya putih, merah, kuning, hitam dan berumbun, dilengkapi dengan pras
pengambyan tulung sesayut, tumpeng sesuai dengan arah mata angin.
2.4 Filosofi
Sarana Caru
2.4.1 Tetimpug
Tetimpug ada beberapa ada tiga atau lima buah.
Sesuai dengan tingkatan. Upacara caru yang menggunakan tiga buah tetimpug
digunakan dalam upacara caru yang biasa dan melambangkan Tri
Kona, yaitu utpeti, stiti, dan pralina. Jika yang
menggunakan lima buah tetimpug upacara caru tersebut sudah
berada dalam tingkatan yang lebih besar, seperti karya agung. Hal tersebut
melambangkan Panca Maha Bhuta, yaitu pertiwi, apah, teja,
bayu, dan akasa. Tetimpug merupakan sarana pengundang
tenaga dan waktu agar harmonis. Jika tetimpug tidak bersuara maka kala
itu tidak datang, begitu juga sebaliknya jika bersuara kala itu datang
dan merasa terpanggil.
2.4.2
Kelabang
Sengkui
Kelabang Sengkui, Kelabang Sengkui ini hampir mirip
dengan Kelabang Dangap-dangap Biasanya Kelabang Sengkui ini digunakan dalam
ritual upacara bhuta yadnya (caru), di mana jumlah ulatan Sengkui ini mengikuti jumlah
urip pacaruan. Makna Sengkui ini
adalah nyupat dan nyomia Bhuta
kala. Di mana Sengkui
ini digunakan sebagai alas dari segala jenis hidangan atau ulam pacaruan
2.4.3 Sampat
Sampat dalam pacaruan sering
digunakan saat berlangsungnya prosesi mapurwa daksina mengelilingi banten caru
bersamaan dengan tulud dan kentongan. Adapun makna filosofi dari sampat yakni
sebagai sarana pembersihan alam skala maupun niskala dari keberlangsungan caru
tersebut. Diharapkan alam skala maupun niskala kembali seimbang (nyomia/menetralisir
hal-hal negatif).
2.4.4
Tulud
Tulud merupakan bagian yang
digunakan saat mapurwa daksina bersamaan dengan sampat serta pentongan. Tulud
dalam pecaruan memiliki fungsi untuk meratakan banten-banten caru yang telah
usai dihaturkan oleh sulinggih. Tulud memiliki makna sebagai sarana meratakan
tanah atau ibu pertiwi serta manyomia
agar keseimbangan skala maupun niskala tetap stabil.
2.4.5
Kentongan/Kulkul
Kulkul memiliki fungsi sebagai
sarana komunikasi atau sebagai alat untuk memberi peringatan, pemberitahu,
maupun sebagai pertanda. Dalam pelaksanaan caru kentongan digunakan saat
mapurwa daksina bersamaan dengan tulud dan sampat. Kentongan memiliki makna
filosofi sebagai alat pemberitahu kepada Bhuta Kala bahwa persembahan pacaruan
telah dilaksanakan dan telah dihaturkan.
2.4.6
Lis
Lis dalam pacaruan merupakan
simbolisasi dari bapa akasa dan ibu pertiwi. Lis terbuat dari daun kelapa yang
dibentuk sedemikian rupa. Lis memiliki makna filosofi sebagai penetralisir mala
atau hal-hal negatif. Lis juga merupakan simbolisasi dari keseimbangan alam
semesta.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Yadnya adalah pusat terciptanya alam
semesta atau Bhuwana Agung sebagai diuraikan dalam kitab Yajur Weda. Caru, dalam
bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya : korban (binatang), sedangkan ‘Car‘ dalam
bahasa Sanskrit artinya ‘keseimbangan/keharmonisan’.
Adapun jenis-jenis sebagai berikut, Caru Eka Sata, Caru Panca Sata, Caru
Rsi Ghana, Caru Penolak Mrana/ Gering Tempur, Caru Panca Sanak Madurgha, Caru
Bhuta Yadnya Medana-dana/ Gempong Asu, Caru Panca Sanak Agung, Caru Panca Wali
Krama, Caru Panca Kelud, Caru Walik Sumpah, Caru Tawur Gentuh, Caru Tawur
Agung, Tawur Eka Dasa Rudra
Adapun filosofi sarana dalam
pacaruan yakni tetimpug yang memiliki makna sebagai
sarana pengundang tenaga dan waktu agar harmonis. Sengkui sebagai alas ulam pacaruan memiliki makna untuk nyupat
dan nyomia Bhuta
Kala. Sampat memiliki makna filosofi sebagai sarana
pembersihan alam skala maupun niskala. Tulud memiliki makna sebagai sarana
meratakan tanah atau ibu pertiwi serta manyomia.
Kentongan memiliki makna filosofi sebagai alat pemberitahu kepada Bhuta
Kala bahwa persembahan pacaruan telah dilaksanakan dan telah dihaturkan. Lis
memiliki makna filosofi sebagai penetralisir mala atau hal-hal negatif.
3.2 Saran
Saran kami sebagai penulis,
semoga makalah yang kami berijudul Caru Dalam Agama Hindu ini bisa menjadi
salah satu literasi yang membantu untuk penulis yang akan membahas kaitannya
dengan filosofi ini. Kami memohon maaf bila hasil karya tulis ini masih banyak
hal-hal yang kurang dalam pemaparannya.
Saran kami kepada pembaca ke
penulis, teruntuk para pembaca agar memberikan suatu kritikan terhadap penulis
dan bahasan yang ditulis, supaya menjadi acuan untuk dapat membuat suatu karya
tulis yang lebih baik lagi kedepannya. Trimakasih
Mas
Putra, I Gusti Agung. 2015. Panca Yadnya.
Biro Kesra Setda Provinsi Bali :
Denpasar
Widnyana,
I Ketut. Caru Kearifan Lokal Bali
"Tinjauan Manfaat dalam Kesuburan
dan
Biodiversitas Tanah". Universitas
Mahasaraswati Press : Denpasar
http://bebantenan.blogspot.com/2011/05/caru.html
http://kpbtabanan.blogspot.com/2018/07/mengenal-dan-memahami-tetandingan_8.html
http://sejarahharirayahindu.blogspot.com/2012/02/caru-tawur.html



Comments
Post a Comment